Breaking News
- SMAN 2 BENGKULU
- Melodi Sejarah di Bandung: Menikmati Pesona Restoran Braga Era Klasik
- Menyisir Budaya Pasta: Pandangan Baru ke Spaghetti di Italia
- Identitas Kolonial: Jalan Braga Bandung Sebagai Magnet Belanja Sejarah
- Nasi Uduk Homemade: 5 Cara Menghidangkan Kenikmatan Otentik dari Rice Cooker
- Lintas Budaya: Kementerian Luncurkan Dashboard Gastrodiplomasi untuk Promosi Kuliner Indonesia
- Rayakan Akhir Tahun Berhemat: Diskon Restoran Kesayangan Bersama Bank Mandiri
- Petualangan Rasa Jogja: Eksplorasi Menu & Harga di Kandang Ingkung
- Keajaiban Tanah Bato: Jorong yang Terpancar dalam Festival Adat Dunia
- Kontroversi Proyek: Karna Suswandi dan Pembelajaran dari Pengakuan KPK
Industri Sepak Bola: Merinci Tantangan di Tanah Air
Industri Sepak Bola: Merinci Tantangan di Tanah Air

Keterangan Gambar : Gelandang Persib Bandung, Tyronne Del Pino berada di tengah kepungan pemain PSBS Biak di Stadion Lukas Enembe Sentani, Kabupaten Jayapura, Sabtu, 11 Januari 2025. (Persib.co.id/Sutanto Nurhadi Permana)
Jakarta, smkn1tamora.sch.id - Pengamat sepak bola Mohamad Kusnaeni, yang akrab disapa Bung Kus, menilai bahwa perjalanan sepak bola Indonesia untuk benar-benar menjadi industri masih panjang.
Tidak mengherankan jika banyak klub sepak bola di Indonesia masih menghadapi kendala finansial selama mengikuti kompetisi. Salah satu contoh terbaru adalah PSIS Semarang, yang berada di bawah naungan PT Mahesa Jenar Semarang. Klub tersebut diketahui memiliki beban operasional sebesar Rp 45 miliar selama dua tahun terakhir.
“Tidak mengejutkan jika banyak klub profesional masih mengaku mengalami kerugian. Bahkan, kerugian operasionalnya bisa mencapai puluhan miliar rupiah per tahun,” kata Bung Kus saat dihubungi di Jakarta, Selasa (21/1/2024).
BACA JUGA
Hasil Persib vs Dewa United: Tumbang di GBLA, Maung Bandung Telan Kekalahan Perdana
Menurut Bung Kus, untuk berpartisipasi dalam kompetisi profesional seperti Liga 1, sebuah klub membutuhkan anggaran lebih dari Rp 50 miliar per tahun. Sementara itu, pendapatan yang diperoleh klub biasanya hanya berkisar antara Rp 25 miliar-Rp 50 miliar.
Ia menambahkan, pengelolaan klub dengan anggaran yang lebih kecil memang mungkin dilakukan, tetapi hal ini akan berdampak pada kemampuan mereka dalam merekrut pemain berkualitas. Akibatnya, klub akan kesulitan bersaing dan manajemen sering kali menghadapi tekanan dari para penggemar.
“Ini seperti masalah ayam dan telur. Sulit menentukan mana yang harus menjadi fokus utama terlebih dahulu,” Bung Kus menambahkan tentang masalah yang dihadapi dalam menjadikan sepak bola sebagai industri di Indonesia.
BACA JUGA
Semen Padang vs Bali United, Teco: Masuknya Kadek dan Rahmat Bawa Serdadu Tridatu Menang Setelah Tertinggal
Dalam praktiknya, kondisi keuangan klub sangat bergantung pada kemampuan finansial pemilik atau investor. Keberlanjutan klub tidak sepenuhnya ditentukan oleh kualitas manajemen atau tata kelola yang profesional.
Bung Kus juga menyoroti bahwa di liga-liga profesional lainnya, terdapat aturan financial fair play atau pembatasan anggaran. Aturan ini bertujuan menciptakan persaingan yang lebih seimbang dan tidak hanya bergantung pada kekuatan finansial semata.
“Wacana pembatasan anggaran sudah lama digaungkan di level klub kasta tertinggi, tetapi hingga saat ini belum ada langkah serius untuk menerapkannya,” katanya saat membahas masalah dalam menjadikan sepak bola sebagai industri di Indonesia.
Pada akhirnya, Bung Kus menyatakan bahwa klub harus cermat dalam mengoptimalkan sumber daya yang mereka miliki. “Ketika semua potensi sudah dimaksimalkan dan tidak lagi cukup, biasanya klub hanya bisa pasrah menerima kenyataan,” tutupnya.
Sepak Bola Jadi IndustriM KusnaeniBung KusSepak Bola IndustriIndustri Sepak Bola